kereta cepat

Kereta cepat pertama di Indonesia yang menghubungkan ibu kota Jakarta dan Bandung di Jawa Barat, akhirnya resmi beroperasi untuk publik setelah sempat beberapa kali tertunda. Pembangungan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang juga proyek kereta cepat pertama di Asia Tenggara, molor hingga tujuh tahun dan menelan biaya yang membengkak hingga sekitar US$7,27 miliar, setara Rp112 triliun.

Pemerintah Indonesia berencana memperpanjang rutenya hingga ke Surabaya, Jawa Timur. Namun, pakar menyarankan pemerintah untuk “mengevaluasi” terlebih dahulu performa KCJB sebelum benar-benar memutuskan memperpanjang rute kereta cepat hingga ke timur Pulau Jawa.

Sementara pegiat lingkungan mengatakan, “kalau bisa tidak diteruskan” karena biaya dan dampak lingkungannya besar. Selain soal dana pembangunan yang membengkak sehingga membuat Indonesia masuk ke “jebakan utang China” – kata sejumlah pengamat, proyek kereta cepat juga sempat memicu isu lingkungan, termasuk banjir di Bekasi dan Bandung Barat.

Saat uji coba pada medio September lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan rencana perpanjangan rute kereta cepat hingga ke Surabaya itu sedang dalam tahap kajian. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan ada “kecenderungan” rute yang dipilih nanti melalui Jawa bagian Selatan.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan nantinya KCJB menuju Surabaya akan “mampir” di beberapa kota, seperti Kertajati Yogyakarta, dan Solo. Pemilihan rute kereta cepat ke Surabaya nantinya akan mempertimbangkan potensi dampak ekonomi untuk wilayah-wilayah yang dilewati kelak. Seperti apa kerumitan proyek kereta cepat sehingga beberapa ahli menyarankan untuk mengevaluasi yang sudah ada terlebih dahulu, alih-alih meneruskannya?

Evaluasi sebelum diteruskan

Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM) Ikaputra menilai keberadaan kereta cepat di Indonesia merupakan sesuatu yang “luar biasa” bagi perkembangan perkeretaapian di Tanah Air.

Sebab, sudah sekian lama teknologi perkeretaapian di Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Padahal di awal masa peradaban kereta api, kualitas perkeretaapian Indonesia sempat berada di nomor dua setelah India.

Meski menganggap kereta api bisa menjadi. solusi yang tepat untuk mengatasi masalah perubahan iklim, Ikaputra menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi proyek KCJB terlebih dahulu sebelum memperpanjang rutenya hingga ke Surabaya.

“Karena ini agak beda, kereta cepat itu punya pertimbangan yang tidak main-main…Sangat tergantung teknologinya, jadi tidak boleh main-main,” kata Ikaputra kepada BBC News Indonesia. Bagaimanapun, dalam konteks transportasi, menurut Ikaputra “kereta api jauh lebih bagus dibanding yang lain”, hanya saja investasinya memang besar. “Kalau menurut saya nanggung juga kalau cuma sampai Bandung, kan cuma setengah jam nanti balik lagi. Kalau sampai Surabaya cuma dua jam kan itu baru revolusioner,” ujarnya.

Baca Juga : Berita Viral,Pasar di Jakarta Sepi Ditinggal Pembeli,Penjual Hanya Duduk di Depan Kios

Senada dengan Ikaputra, pengamat pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai pemerintah perlu mengevaluasi KCJB terlebih dahulu sebelum meneruskan rute kereta cepat hingga ke Surabaya. “Kalau sampai Surabaya, PT Kereta Api [PT KAI] remuk redam. Nanti kalau BUMN-nya remuk redam akhirnya pakai APBN untuk nomboknya. Kan sayang uang APBN hanya untuk di Jawa semua,” kata Djoko

Jika tidak ada penyertaan modal nasional (PMN) yang disuntikkan kepada PT KAI sebagai pimpinan konsorsium dalam proyek kereta cepat, kata Djoko, perusahaan milik negara itu “sudah kolaps”.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu mengatakan “oke-oke saja kita punya kereta cepat”, tapi transportasi lainnya yang kualitasnya masih “buruk” juga harus diperbaiki agar tidak tercipta “kesenjangan yang terlalu jauh”.

Manajer Kampanye WALHI Nasional Dwi Sawung justru berpendapat proyek kereta cepat “mending tidak usah” diteruskan sampai ke Surabaya. Selain karena biayanya mahal, Sawung menduga dampak lingkungan yang ditimbulkan akan lebih besar dari yang sebelumnya. “Lebih baik cari opsi lain ya, upgrade jalur yang sekarang daripada harus membangun jalur baru,” kata dia. Mengapa para ahli tidak serta merta menyetujui rencana pemerintah memperpanjang rute kereta cepat sampai ke Surabaya? Apa yang terjadi di proyek KCJB?

Awal pembangunan dan kontroversinya

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkap proyek kereta cepat sebenarnya sudah direncanakan sejak 2008 lalu dan saat itu mereka telah melakukan studi kelayakan dari Jakarta hingga Surabaya.

Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) juga pernah membuat studi kelayakan dan menawarkan proyek kereta cepat pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, realisasi proyek kereta cepat itu sempat terhenti dan baru dimulai lagi ketika Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden.

Di 2015, wacana pembangunan proyek kereta cepat baru muncul lagi. Pemantiknya, kunjungan Presiden Jokowi ke China, di mana dia menjajal kereta cepat Beijing-Tianjin. Ditambah lagi Singapura-Malaysia mengumumkan rencana proyek kereta cepat mereka. “Jadi kalau kita tidak berani memulai itu, kapan pun itu nggak akan bisa kita mulai,” kata Jokowi pada 2015, dikutip dari detik.com. Namun, penolakan terhadap proyek ini meluas.

Kala itu, mulai dari pegiat, ahli transportasi, pelaku bisnis, hingga masyarakat mempertanyakan prioritas rencana ini di antara target Presiden Jokowi membangun infrastruktur di luar Pulau Jawa. Menurut Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas, pada 2015 kepada BBC Indonesia, pembangunan kereta tidak hanya akan menambah ketimpangan pembangunan infrastruktur, tapi juga menambah beban lingkungan terhadap Pulau Jawa yang sudah padat penduduk dan banyak mengalami alih fungsi lahan-lahan produktifnya.

Apalagi, kata Darmaningtyas, jalur Jakarta-Bandung sebenarnya sudah dilayani oleh jaringan kereta api dan memiliki jalan tol yang kondisinya relatif bagus. Ignasius Jonan, yang pada masa itu menjabat sebagai menteri perhubungan, juga sempat beberapa kali mengungkapkan penolakannya, dengan alasan proyek ini memiliki sejumlah kekurangan, baik dari aspek bisnis maupun operasional.

Dia beralasan, membangun Kereta Cepat Jakarta Bandung yang jaraknya terbilang sangat pendek adalah bentuk pembangunan yang terlalu berorientasi Pulau Jawa. Diberitakan Kompas.com, Jonan menolak menerbitkan izin trase pembangunan kereta cepat karena dinilai masih ada beberapa regulasi yang belum dipenuhi, terutama terkait masa konsesi. “Baca dong Perpres No 107/2015. Di situ tercantum Kemenhub harus menegakkan perundangan yang berlaku. Saya dukung kereta cepat agar cepat terbangun. Jika semua dokumennya siap, dalam waktu satu minggu, izin akan keluar. Pokoknya Kemenhub tidak akan mempersulit, tetapi juga tidak akan mempermudah,” kata Jonan.

Dia juga diketahui tidak menghadiri acara groundbreaking proyek pembangunan KCJB di Walini pada 21 Januari 2016. Jonan juga menjadi bagian dari pihak yang mengharamkan dana APBN digunakan untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Jepang vs China

Lelang proyek pun dibuka. Jepang bukan satu-satunya pihak yang tertarik untuk menggarap proyek kereta cepat di Tanah Air. China juga membawa proposal pada Agustus 2015 dan masuk sebagai tandingan Jepang, yang kala itu harus merevisi proposalnya karena kurang diminati pemerintah Indonesia. Sebab, Jepang meminta jaminan pemerintah Indonesia jika terjadi sesuatu dengan proyek tersebut.

Dalam revisi proposalnya, Jepang menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia. Negeri Sakura menawarkan investasi sebesar US$6,2 miliar dengan masa waktu 40 tahun dan bunga 0,1%. Ketika Jepang tengah merevisi proposalnya, China masuk dan langsung mendapat dukungan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Mereka menawarkan investasi US$5,5 miliar, jauh lebih murah dibandingkan Jepang, dengan skema investasi 40% kepemilikan China dan 60% kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN. Dari estimasi itu, sekitar 25% akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.

China juga mengatakan proyek mereka tidak akan menguras dana APBN Indonesia dan bakal terbuka soal transfer teknologi. Akhirnya, pemerintah Indonesia memilih China sebagai penggarap proyek kereta cepat. Waktu itu, Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkap alasan pemerintah mantap memilih China adalah tawaran pembangunan proyek tanpa APBN dan jaminan pemerintah.

Jepang lantas menyampaikan kekecewaan dan penyesalannya secara terbuka. Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengatakan pihaknya menyesal karena sudah menggelontorkan dana yang besar untuk studi kelayakan dan mereka kecewa tawaran proyek dengan teknologi terbaik dan standar keamanan yang tinggi tidak terpilih.