kesehatan jiwa

Masalah kesehatan jiwa telah menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional. Terlebih di masa pandemi COVID-19, permasalahan kesehatan jiwa akan semakin berat untuk diselesaikan.

Dampak dari pandemi COVID-19 ini tidak hanya terhadap kesehatan fisik saja, namun juga berdampak terhadap kesehatan jiwa dari jutaan orang, baik yang terpapar langsung oleh virus maupun pada orang yang tidak terpapar.

Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan saat ini masyarakat masih berjuang mengendalikan penyebaran virus COVID-19, tapi di sisi lain telah menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan jarak fisik dan hubungan sosial, serta ketidak pastian.

“Hal-hal tersebut tentu berdampak terhadap terjadinya peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa di masyarakat,” katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (6/10).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Selain itu berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr.Celestinus Eigya Munthe menjelaskan masalah kesehatan jiwa di Indonesia terkait dengan masalah tingginya prevalensi orang dengan gangguan jiwa. Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.

“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” katanya.

Ditambah lagi sampai saat ini belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Permasalahan lain, lanjut Celestinus, adalah terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa.

“Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang, karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang,” ucapnya.

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Menurutnya, ini suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Tak hanya itu, masalah kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma dan diskriminasi.

“Kita sadari bahwa sampai hari ini kita mengupayakan suatu edukasi kepada masyarakat dan tenaga profesional lainnya agar dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, serta pemenuhan hak asasi manusia kepada orang dengan gangguan jiwa,” tutur Celestinus.

dr. Maxi mengatakan situasi masalah kesehatan jiwa tersebut mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kesehatan mental agar dapat lebih diprioritaskan dari sebelumnya.

Pemerintah daerah harus menjadikan program dan pelayanan kesehatan jiwa dapat menjadi fokus perhatian, tentunya dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana terkait kesehatan jiwa yang memadai.

“Kepada masyarakat, agar menjaga kesehatan diri dan tetap patuh dan disiplin dengan protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19, serta selalu menjaga kesehatan jiwa dengan mengelola stress dengan baik, menciptakan suasana yang aman, nyaman bagi seluruh anggota keluarga,” ujarnya.

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

Tema Global peringatan hari kesehatan jiwa Sedunia tahun 2021 ini adalah “Mental Health in an Unequal World : Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua”. Tema tersebut mengamanahkan pada setiap Negara agar lebih memberikan akses layanan yang lebih besar dan luas, agar kesehatan mental masyarakat lebih terjamin dan setara dengan kesehatan fisik lainnya.

Oleh karena itu :
1. Kepada masyarakat, agar menjaga kesehatan diri dan tetap patuh dan disiplin dengan protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19, serta selalu menjaga kesehatan jiwa dengan mengelola stress dengan baik, menciptakan suasana yang aman, nyaman bagi seluruh anggota keluarga di rumah kita.

2. Kepada para tenaga kesehatan, kader kesehatan jiwa dan komunitas peduli kesehatan jiwa, saya sampaikan ucapan terima kasih karena telah selalu menjaga kesehatan dan mencegah penularan COVID-19 serta berdedikasi menjaga kesehatan jiwa masyarakat, baik melalui kegiatan di komunitas dan atau di fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan layanan dan pendampingan bagi masyarakat yang mengalami masalah kesehatan jiwa, sehinga mendapatkan akses layanan yang setara dan sama dengan setara.

3. Kepada para pimpinan pemerintah daerah, sebagai pengampu dan yang berwenang di daerah, kami berpesan agar program dan pelayanan kesehatan jiwa dapat menjadi fokus perhatian tentunya dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana terkait kesehatan jiwa yang memadai dan mendukung penyelenggaraan program kesehatan jiwa di wilayah bapak/ibu.

4. Kepada para organisasi profesi yang telah berkontribusi terhadap kesehatan jiwa masyarakat, kami sampaikan terima kasih dan tentunya karya nyata pengabdian pada masyarakat selanjutnya kami harapkan dapat berkelanjutan.

5. Kepada para Media dapat memberikan informasi secara berimbang terkait pemberitaan masalah kesehatan jiwa, sehingga diharapkan dapat mengurangi stigma dan meningkatkan informasi-informasi kebutuhan dan akses layanan kesehatan jiwa sebagai prasyarat kesetaraan pelayanan kesehatan jiwa bagi seluruh masyarakat indonesia.

Tanggal 10 Oktober 2021, dunia memperingati ”World Mental Health Day” atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. Menanggapi tersebut, Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM kemudian mengadakan Talkshow Kesehatan bertema ‘Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua’ dengan menghadirkan dokter spesialis kesehatan jiwa dari RSA UGM, dr. Tika Prasetiawati. Webinar disiarkan melalui kanal Youtube Rumah Sakit Akademik UGM pada Selasa, (12/10). Melalui kesempatan itu, dokter Tika mengajak untuk memahami kembali apa itu kesehatan jiwa.

Melansir definisi dari World Health Organization (WHO), dokter Tika menuturkan terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan memiliki jiwa nan sehat. Pertama yang bersangkutan dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dirinya atau mengetahui potensi diri.

Kedua yang bersangkutan mampu mengatasi konflik dalam hidupnya. Tidak apa-apa jika tidak bisa menyelesaikan masalah secara langsung, namun yang bersangkutan mempunyai kesadaraan akan dirinya, mampu atau tidak menyelesaikan masalah itu. Jika tidak bisa maka dia akan meminta tolong kepada orang lain. Jika seseorang dapat berlaku seperti itu, maka dia mempunyai jiwa yang sehat.

Ketiga adalah ketika yang bersangkutan dapat berlaku produktif, dimana bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Serta yang terakhir (keempat) mempunyai peran aktif dalam komunitas atau lingkugannya.

“Jika satu dari kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut bisa dikategorikan (sebagai) orang dengan masalah kejiwaan atau orang dengan gangguan jiwa. Jadi, empat komponen itu harus terpenuhi semua,” tutur dokter Tika.

Lebih jelasnya, orang dengan masalah kejiwaan berbeda dengan orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang sedang berada dalam kondisi rentan mengalami gangguan jiwa. Misalnya adalah orang-orang yang mengalami penyakit kronis (kesembuhan penyakitnya lama), dimana dia rentan mengalami depresi, cemas, dan stres karena penyakitnya. Contoh lainnya adalah orang-orang yang baru mendapatkan musibah seperti kebakaran, bercerai, orang yang terkena PHK, dan lain sebagainya.

Sementara orang dengan gangguan jiwa adalah orang-orang yang memiliki gangguan pada fungsi pikir, perasaan serta perilakunya. Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa ini dapat ditandai dengan kondisi penurunan kualitas hidup yang bersangkutan. Contohnya jika seseorang yang tengah mengalami perasaan sedih. Setiap orang bisa dan berhak untuk merasa sedih. Namun, ketika perasaan sedih tersebut sampai menghambat yang bersangkutan melaksanakan aktivitas sehari-hari, seperti makan dan lain sebagainya, maka orang tersebut tengah mengalami gangguan jiwa.

“(begitu juga dengan) orang cemas karena kecemasan seorang ibu tidak bisa pergi belanja untuk memenuhi kebutuhannya kepasar karena cemas atau takut sama orang… Nah kalau keadaan tersebut dialami dan sudah mengurangi kualitas hidup: itu dikatakan gangguan jiwa,” jelas dokter Tika.

Lalu apa perbedaan orang dengan gangguan jiwa dengan orang “gila”? 

Dokter Tika menegaskan bahwa penyebutan “orang gila” tersebut adalah salah. Istilah “orang gila” tidak ada dalam ilmu kesehatan jiwa. Orang yang disebut masyarakat sebagai “orang gila” ini benarnya disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa berat. Misalnya orang dengan skizofrenia, dimana ia tidak bisa membedakan antara fungsi berfikirnya dengan kenyataan yang ada.

“(jadi) tidak ada istilahnya gangguan jiwa ‘gila’ itu. Tidak ada namanya gangguan jiwa ‘gila’, jadi istilah (orang gila) itu tidak digunakan,” pungkas dokter Tika. 

Dokter Tika prihatin ketika banyak orang memanggil orang dengan gangguan jiwa berat tersebut dengan sebutan “orang gila”. Selama ini penggunaan sebutan tersebut menimbulkan stigma negatif kepada yang bersangkutan dan menjadikan mereka dijauhi oleh orang-orang.

“Istilah benarnya bisa (dengan) orang dalam gangguan jiwa, atau disabilitas mental atau psiko-sosial, itu kan lebih enak didengar dibandingkan menyebut ‘orang gila’,“ tambah dokter Tika.

Baca Juga : https://buyrealtumblrfollowers.com/kesehatan-masyarakat-gelar-skm/