Penyakit kritis dan kesehatan mental benar-benar dekat kaitannya. Berdasarkan data dari Choosing Therapy, sekitar satu dari empat penderita kanker mengalami depresi klinis. Depresi, kecemasan, dan PTSD dapat terjadi setelah kejadian yang terkait dengan penyakit jantung, seperti gagal jantung atau serangan jantung. Kecemasan akan serangan lainnya dan perasaan mengalami penurunan kwalitas hidup dapat memberi pengaruh kesehatan mental.
Sesudah memperoleh hasil diagnosa dokter, pasien sakit kritis mungkin terguncang secara mental. Lamanya proses pengobatan serta tarif yang tidak sedikit seringkali menyebabkan pikiran penderitanya terbebani. Pasien sakit kritis juga memiliki kekhawatiran bahwa dirinya menjadi muatan bagi keluarga.
Tidak hanya si pasien sakit kritis yang menikmati pengaruh psikis dari diagnosa yang cakap mengubah tatanan hidup. Keluarga di sekitarnya juga mengalami muatan mental, lebih-lebih bagi anggota keluarga yang terlibat erat dalam mengurus dan menemaninya tiap-tiap hari. Penjaga orang sakit akan benar-benar mudah mengalami stres, kelelahan, dan bahkan frustasi, apalagi jika tidak memperoleh waktu yang cukup untuk beristirahat dan melakukan kegiatan pribadi.
Tulisan ini membahas bagaimana sistem menyokong kesehatan mental diri sendiri dan anggota slot thailand no 1 keluarga jika terdiagnosa penyakit kritis. Yuk, lanjut baca untuk menambah pengetahuanmu perihal hubungan penyakit kritis dan kesehatan mental.
Apa yang Dapat Kau Lakukan untuk Menuntaskan Kesehatan Mental setelah diagnosa Penyakit Kritis?
Menerima kondisi
Pasien yang memiliki tingkat stres relatif rendah akan konsisten mengalami peningkatan muatan mental ketika memperoleh divonis penyakit kritis. Tetapi, mengutip American Psychology Association, penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat depresi atau pernah mengalami kondisi hidup yang berat, akan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan pada kesehatan mental ketika ia divonis menderita penyakit kritis.
Diagnosa penyakit kritis, seperti kanker, sakit jantung, gagal ginjal, diabetes, dan lainnya, dapat menyebabkan guncangan mental terhadap diri pasien dan keluarganya. Umumnya, orang yang menerima diagnosa penyakit kritis akan mengalami lima tahap berduka, antara lain penolakan (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), dan depresi (depression), lalu diakhiri dengan penerimaan (acceptance). Tahap berduka juga dilalui oleh pihak keluarga.
Sebab eratnya hubungan penyakit kritis dan kesehatan mental, beberapa respons emosi yang lazim setelah seseorang didiagnosis penyakit kritis, antara lain:
- Kemarahan dan rasa frustrasi untuk ingin menerima diagnosa, adakalanya menyalahkan diri dengan bertanya apa yang sudah dikerjakan sehingga sesuai menerima penyakit ini?
- Ketakutan terhadap kematian dan kemungkinan penyakit kritis berpotensi mengakhiri hidup.
- Kekhawatiran perihal masa depan, dengan timbul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran, seperti apakah dapat sembuh, bagaimana dilema tarif pengobatan, apa yang akan terjadi pada orang yang dicintai, bagaimana rasa sakit yang dihadapi seiring perkembangan penyakit, atau bagaimana hidup mulai berubah.
- Berduka atas hilangnya kesehatan dan kehidupan lama yang lebih tepat.
- Merasa tidak berdaya, putus hasrat, atau tidak cakap mengamati masa depan yang melampaui kondisi ketika ini.
- Penyesalan atau rasa bersalah atas hal-hal yang sudah dikerjakan, yang mungkin berkontribusi terhadap penyakit tersebut.
- Rasa malu mengamati kondisi diri dan memikirkan apa pendapat orang-orang di sekitar.
- Penyangkalan sehingga berpikir dokter salah dalam mendiagnosa.
- Rasa terisolasi sebab perasaan terputus dari sahabat dan orang terkasih yang tidak dapat memahami apa yang sedang dialami.
- Kehilangan diri sendiri. Kau bukan lagi sekadar kamu, tetapi kondisi medis yang kritis.